DEMOKRASI YANG DIPAKSA ATAU TERPAKSA

person standing near table
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
Daftar Isi

Oleh Aditya Irawan mahasiswa fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta

PENDAHULUAN

Demokrasi di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan sejak era reformasi pada tahun 1998. Salah satu aspek krusial dalam demokrasi Indonesia adalah sistem multi partai dan proporsional terbuka. Meskipun pada dasarnya demokrasi adalah suatu sistem yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemerintahannya, perdebatan dan permasalahan muncul mengenai apakah sistem ini murni diakui dan diterima oleh masyarakat ataukah lebih bersifat dipaksakan atau terpaksa. Pada mulanya sebelum Indonesia Merdeka Tan Malaka sebagai orang yang sampai hari ini dicap sebagai orang yang sangat kiri jauh lebih dulu ketimbang Bung Hatta dan Soekarno, yang membicarakan negara Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang dicita-citakan. Ide tersebut beliau tulis pada tahun 1925 dalam buku berjudul “Naar de republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia), yang lahir tiga tahun sebelum tulisan “Indonesia Vrije” (Indonesia Merdeka) karya Bung Hatta (1928) dan delapan tahun sebelum tulisan “Mencapai Indonesia Merdeka” karya Bung Karno (1933). Opini yang saya tulis ini bertujuan untuk memberikan presepsi pada sistem multi partai dan proporsional terbuka di Indonesia, Karena demokrasi sendiri merupakan sistem pemerintahan yang dikenal dengan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Namun, yang sering kali menjadi pertanyaan dan permasalahan adalah apakah demokrasi diimplementasikan karena keinginan sejati atau hanya karena tekanan dari internal dan eksternal yang memaksa untuk mengadopsi sistem ini.

PEMBAHASAN

Pasca reformasi tahun 1998 sistem multi partai di Indonesia, pada awal-nya bertujuan untuk melakukan penegakan sistem pemerintahan berdasarkan demokrasi. Mengingat negara kita menganut sistem demokrasi yang memberikan kewenangan rakyatnya dalam mengikuti pemilu. Namun pada hakekat-nya hal ini tidak selaras dengan apa yang menjadi tujuan diberlakukan-nya system multi partai dikarenakan lemah-nya ideologi imbas dari benturan kepentingan. Berbagai partai politik membentuk kelompok atau yang sering dikenal sebagai koalisi ini dikarenakan sebagai sumber kekuatan dalam pengembangan pemerintahan.

Sistem multi patai di Indonesia lebih di dominasi pada peranan parpol pada Lembaga legislatif, Jadi seringkali peranan lembaga eksekutif ragu-ragu dan sering lemah. Sebab, untuk pembentukan pemerintahan sendiri tidak ada satu partai cukup kuat. Inilah yang membuatnya terpaksa membentuk koalisi dengan partai lain. Tidak hanya itu sistem multi partai juga mempengaruhi effisiensi dan mekanisme didalam pembentukan suatu undang-undang dan peraturan di Lembaga legislatif.

Dampak dari sistim multipartai adalah kepentingan apa dan siapa yang diperjuangkan di parlemen dan pemerintahan? (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik memasukkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Jelas yang pertama diperjuangkan adalah kepentingan politik anggota. Dari sisi sosiologi politik hal itu berarti urusan masyarakat, bangsa dan negara nomor dua. Dan yang menjadi Pertanyaan, apakah yang berada di DPR/DPRD itu wakil partai politik atau wakil rakyat? Organ negara tersebut jelas bernama Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah, bukan “dewan perwakilan partai”, yang berarti mereka seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Lebih jauh pandangan dan analisis ahli ilmu politik, mengingatkan pula bahwa sistem multipartai yang dipakai sebagai sarana memodernisasikan Masyarakat di negara sedang berkembang, relatif menumbuhkan instabilitas dari pada di negara yang menganut sistem dua partai. Pada hakekatnya sistem multipartai itu tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam Masyarakat.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sistem pemilu yang pernah diterapkan di Indonesia adalah sistem proporsional terbuka dan tertutup Dalam sejarahnya, sistem pemilu proporsional terbuka telah diterapkan sejak pemilu tahun 2004 hingga sekarang hal ini berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun berbagai pertanyaan dan permasalahan seringkali muncul mengenai hal ini dan tak jarang pula hal ini bahkan menjadi perdebatan publik.. Pakar Hukum Tata Negara Indonesia Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.SC. mengatakan pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3),  Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UU NRI 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia melainkan dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh UUD yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepersertaannya di pemilu untuk memilih DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden.

Penyerahan keputusan keterpilihan suara terbanyak dalam empat kali pemilu telah menampilkan banyak sisi gelap dari sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata malah memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat yang melemahkan posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan dan partisipasi politik yang benar. melainkan hanya sekedar untuk mencari fokus kandidat-kandidat yang dapat menjadi magnet untuk menarik perhatian dan meraih suara terbanyak. Keterpilihan oleh jumlah suara terbanyak dalam sistem proporsional terbuka secara langsung telah mengubah dinamika pemilihan umum menjadi sebuah pertarungan di mana popularitas dan keuangan menjadi faktor utama. Hal ini menyebabkan medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi arena bagi perbandingan program, gagasan, atau ide, berubah menjadi persaingan di antara individu terkenal dan yang memiliki kemampuan finansial. Kader-kader yang terkenal dan berkeuangan kuat menjadi daya tarik bagi partai politik, bahkan hingga mengesampingkan pentingnya pengembangan dan pembinaan. Dalam konteks ini, partai sering kali enggan atau merasa ragu untuk melakukan pembinaan yang mencakup pengawasan dan kontrol. Hal ini disebabkan oleh ketakutan bahwa tindakan tersebut dapat merugikan partai karena kader tersebut memiliki basis massa yang besar dan dukungan finansial yang signifikan, sehingga dianggap berpotensi merugikan kepentingan partai.

Dampaknya, partai bisa terjebak dalam dilema di antara menjaga integritas dan menjalankan fungsi pembinaan serta pengawasan, atau mengalah demi mendapatkan dukungan besar dari kader-kader yang lebih dikenal dan berkeuangan kuat. Akibatnya, fokus pada program, gagasan, dan ide seringkali tergeser oleh pertimbangan politik yang lebih pragmatis, mengakibatkan perubahan dinamika dalam fungsi dan tujuan sebenarnya dari diadakan-nya pemilihan umum.

KESIMPULAN

Demokrasi di Indonesia, khususnya setelah era reformasi pada tahun 1998, telah menghadapi tantangan dan perdebatan terkait dengan sistem multi partai dan proporsional terbuka yang diterapkan. Meskipun pada awalnya bertujuan untuk memperkuat demokrasi dan memberikan kewenangan kepada rakyat, implementasi sistem ini membawa dampak dan konsekuensi yang perlu dievaluasi dengan cermat.

Salah satu tantangan utama dalam sistem multi partai adalah pembentukan koalisi yang seringkali didorong oleh kebutuhan politik dan kelemahan ideologi. Koalisi ini mempengaruhi stabilitas dan kinerja lembaga eksekutif, dengan kekuatan seringkali terpusat di lembaga legislatif yang didominasi oleh berbagai partai politik. Efisiensi dan mekanisme dalam pembentukan undang-undang dan peraturan pun terpengaruh oleh dinamika ini. Dampak sistem multipartai juga terlihat dalam prioritas dan kepentingan yang diperjuangkan di parlemen. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 mencerminkan bahwa kepentingan politik anggota dan partai politik seringkali mendahului kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pertanyaan mendasar muncul seputar apakah wakil di DPR/DPRD lebih mewakili partai politik atau rakyat secara keseluruhan.

Sementara itu, sistem pemilu proporsional terbuka telah menimbulkan kontroversi. Meskipun pada awalnya bertujuan mengurangi jarak antara pemilih dan wakil rakyat, sistem ini malah menciptakan dinamika yang memperkuat popularitas individu dan keuangan sebagai faktor utama dalam pemilihan. Partai politik cenderung fokus pada figur yang terkenal dan berkeuangan kuat, mengabaikan pembinaan dan pengembangan kader.

Kesimpulannya, demokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks sistem multi partai dan pemilu proporsional terbuka, masih menghadapi sejumlah tantangan. Evaluasi menyeluruh terhadap dampak dan efektivitas sistem ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa demokrasi yang dijalankan benar-benar mencerminkan keinginan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya sekelompok kepentingan politik atau individu. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk memperkuat prinsip demokrasi yang sejati dan memastikan partisipasi aktif rakyat dalam pembentukan pemerintahan.

REFRENSI

https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/170539/kartel-politik-psi

https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/06/30/07000031/demokrasi-tan-hatta-dan-syahrir

https://fisip.umsu.ac.id/2022/03/03/sistem-multipartai-di-indonesia/

https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/

(UU) Nomor 2 Tahun 2011

Bagikan Postingan :
Artikel Terkait